didieu telusur dak.....!

Puisi Chairil Anwar


AKU BERADA KEMBALI

Chairil Anwar


Aku berada kembali. Banyak yang asing:
air mengalir tukar warna,kapal kapal,
elang-elang
serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;

rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
juga disinari matari lain.

Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang aku di kelok-kelok jalan;
lebih lengang pula ketika berada antara
yang mengharap dan yang melepas.

Telinga kiri masih terpaling
ditarik gelisah yang sebentar-sebentar
seterang
guruh

1949










AKU

Chairil Anwar



Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943









CINTAKU JAUH DI PULAU

Chairil Anwar



Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.

1946








DENGAN MIRAT

Chairil Anwar



Kamar ini jadi sarang penghabisan
di malam yang hilang batas

Aku dan engkau hanya menjengkau
rakit hitam

'Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran hitam?

Matamu ungu membatu

Masih berdekapankah kami atau
mengikut juga bayangan itu

1946














DERAI DERAI CEMARA

Chairil Anwar



Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949














DIPONEGORO

Chairil Anwar



Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.






















DOA

Chairil Anwar



kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku
aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

13 November 1943







HAMPA

Chairil Anwar



kepada sri

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.


















KARAWANG BEKASI

Chairil Anwar



Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi






MAJU

Chairil Anwar



Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

Februari 1943








MALAM DI PEGUNUNGAN

Chairil Anwar



Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!


1947























MALAM

Chairil Anwar


Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
--Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang

Zaman Baru,
No. 11-12



















MIRAT MUDA, CHAIRIL MUDA

Chairil Anwar



Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,
menatap lama ke dalam pandangnya
coba memisah mata yang menantang
yang satu tajam dan jujur yang sebelah.

Ketawa diadukannya giginya pada mulut Chairil;
dan bertanya: Adakah, adakah
kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahulah dia kini, bisa katakan
dan tunjukkan dengan pasti di mana
menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-nyawa saling berganti.
Dia rapatkan

Dirinya pada Chairil makin sehati;
hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan dera,
menuntut tinggi tidak setapak berjarak
dengan mati

-di pegunungan 1943, ditulis 1949








NISAN

Chairil Anwar



Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan tak bertahta.


























PENERIMAAN
Chairil Anwar



Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

Maret 1943














PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Chairil Anwar




Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

1948


















PRAJURIT JAGA MALAM
Chairil Anwar




Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !

1948


Siasat,
Th III, No. 96
1949













RUMAHKU
Chairil Anwar




Rumahku dari unggun-unggun sajak
Kaca jernih dari segala nampak

Kulari dari gedung lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala
Dipagi terbang entah kemana

Rumahku dari unggun-unggun sajak
Disini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
jika menagih yang satu

April 1943












SAJAK PUTIH
Chairil Anwar



buat tunanganku Mirat

Bersandar pada tari warna pelangi
kau depanku bertudung sutra senja
di hitam matamu kembang mawar dan melati
harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
meriak muka air kolam jiwa
dan dalam dadaku memerdu lagu
menarik menari seluruh aku

hidup dari hidupku, pintu terbuka
selama matamu bagiku menengadah
selama kau darah mengalir dari luka
antara kita Mati datang tidak membelah...

Buat Miratku, Ratuku! kubentuk dunia sendiri,
dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini!
Kucuplah aku terus, kucuplah
dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku...

1944








Aku berkaca

Ini muka penuh luka
Siapa punya ?

Kudengar seru menderu
dalam hatiku
Apa hanya angin lalu ?

Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta

Ah.......!!

Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal .............!!
Selamat tinggal ................!!



Dari: Deru Campur Debu











SENJA DI PELABUHAN KECIL
Chairil Anwar



buat: Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

1946













TJERITA BUAT DIEN TAMAELA
Chairil Anwar




Beta Pattiradjawane
jang didjaga datu datu
Tjuma satu

Beta Pattiradjawane
kikisan laut
berdarah laut

beta pattiradjawane
ketika lahir dibawakan
datu dajung sampan

beta pattiradjawane pendjaga hutan pala
beta api dipantai,siapa mendekat
tiga kali menjebut beta punja nama

dalam sunyi malam ganggang menari
menurut beta punya tifa
pohon pala, badan perawan djadi
hidup sampai pagi tiba

mari menari !
mari beria !
mari berlupa !

awas ! djangan bikin bea marah
beta bikin pala mati, gadis kaku
beta kirim datu-datu !

beta ada dimalam, ada disiang
irama ganggang dan api membakar pulau .......

beta pattiradjawane
jang didjaga datu-datu
tjuma satu


YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
Chairil Anwar




Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

1949




ANTARA TIGA KOTA
Oleh :
Emha Ainun Najib


 
 di yogya aku lelap tertidur
angin di sisiku mendengkur
seluruh kota pun bagai dalam kubur
pohon-pohon semua mengantuk
di sini kamu harus belajar berlatih
tetap hidup sambil mengantuk
kemanakah harus kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?
Jakrta menghardik nasibku
melecut menghantam pundakku
tiada ruang bagi diamku
matahari memelototiku
bising suaranya mencampakkanku
jatuh bergelut debu
kemanakah harus juhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga
surabaya seperti ditengahnya
tak tidur seperti kerbau tua
tak juga membelalakkan mata
tetapi di sana ada kasihku
yang hilang kembangnya
jika aku mendekatinya
kemanakah haru kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?
 
 
Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
1997



  BEGITU ENGKAU BERSUJUD
Oleh :
Emha Ainun Najib
 
   Begitu engakau bersujud, terbangunlah ruang
  yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid
 Setiap kali engkau bersujud, setiap kali
  pula telah engkau dirikan masjid
 Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid
  telah kau bengun selama hidupmu?
 Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu
  meninggi, menembus langit, memasuki
  alam makrifat
 Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika
  bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud
 Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada
  ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan
 Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan
  ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang
 Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk
  cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara
  adzan
 Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid
 Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang
  Allah, engkaulah kiblat
 Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang
  didengar Allah, engkaulah tilawah suci
 Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai
  Allah, engkaulah ayatullah
 Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,
  karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi
  dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud
  menjadilah engkau masjid
 
   
          1987
 
 
Pengirim Subhan Toba
Jumat 6 Januari 2000
 
 


DARI BENTANGAN LANGIT
 
Oleh :
Emha Ainun Najib


 
 
 
Dari bentangan langit yang semu
Ia, kemarau itu, datang kepadamu
Tumbuh perlahan. Berhembus amat panjang
Menyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan
menyapu hutan !
Mengekal tanah berbongkahan !
datang kepadamu, Ia, kemarau itu
dari Tuhan, yang senantia diam
dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa
yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.
 
Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
1997

 




  DITANYAKAN KEPADANYA

Oleh :
Emha Ainun Najib

 
 

 Ditanyakan kepadanya siapakah pencuri
 Jawabnya: ialah pisang yang berbuah mangga
 Tak demikian Allah menata
 Maka berdusta ia
 Ditanyakan kepadanya siapakah penumpuk harta
 Jawabnya: ialah matahari yang tak bercahaya
 Tak demikian sunnatullah  berkata
 Maka cerdusta ia
 Ditanyakan kepadanya siapakah pemalas
 Jawabnya: bumi yang memperlambat waktu edarnya
 Menjadi kacaulah sistem alam semesta
 Maka berdusta ia
 Ditanyakan kepadanya sapakah penindas
 Jawabnya: ialah gunung berapi masuk kota
 Dilanggarnya tradisi alam dan manusia
 Maka berdusta ia
 Ditanyakan kepadanya siapa pemanja kebebasan
 Ialah burung terbang tinggi menuju matahari
 Burung Allah tak sedia bunuh diri
 Maka berdusta ia
 Ditanyakn kepadanya siapa orang lalai
 Ialah siang yang tak bergilir ke malam hari
 Sedangkan Allah sedemikian rupa mengelola
 Maka berdusta ia
 Ditanyakan kepadanya siapa orang ingkar
 Ialah air yang mengalir ke angkasa
 Padahal telah ditetapkan hukum alam benda
 Maka berdusta ia
 Kemudian siapakah penguasa yang tak memimpin
 Ialah benalu raksasa yang memenuhi ladang
 Orang wajib menebangnya
 Agar tak berdusta ia
 Kemudian siapakah orang lemah perjuangan
 Ialah api yang tak membakar keringnya dedaunan
 Orang harus menggertak jiwanya
 Agar tak berdusta ia
 Kemudian siapakah pedagang penyihir
 Ialah kijang kencana berlari di atas air
 Orang harus meninggalkannya
 Agar tak berdusta ia
 Adapun siapakah budak kepentingan pribadi
 Ialah babi yang meminum air kencingnya sendiri
 Orang harus melemparkan batu ke tengkuknya
 Agar tak berdusta ia
 Dan akhirnya siapakah orang tak paham cinta
 Ialah burung yang tertidur di kubangan kerbau
 Nyanyikan puisi di telinganya
 Agar tak berdusta ia
 
         1988
 
 
Pengirim Subhan Toba
Jumat 7 Januari 2000
 
 



 
 
 
 
 
 

DOA SEHELAI DAUN KERING


------------------------------------------------------------------------


Janganku suaraku, ya 'Aziz


Sedangkan firmanMupun diabaikan


Jangankan ucapanku, ya Qawiy


Sedangkan ayatMupun disepelekan


Jangankan cintaku, ya Dzul Quwwah


Sedangkan kasih sayangMupun dibuang


Jangankan sapaanku, ya Matin


Sedangkan solusi tawaranMupun diremehkan


Betapa naifnya harapanku untuk diterima oleh mereka


Sedangkan jasa penciptaanMupun dihapus


Betapa lucunya dambaanku untuk didengarkan oleh mereka


Sedangkan kitabMu diingkari oleh seribu peradaban


Betapa tidak wajar aku merasa berhak untuk mereka hormati


Sedangkan rahman rahimMu diingat hanya sangat sesekali


Betapa tak masuk akal keinginanku untuk tak mereka sakiti


Sedangkan kekasihMu Muhammad dilempar batu


Sedangkan IbrahimMu dibakar


Sedangkan YunusMu dicampakkan ke laut


Sedangkan NuhMu dibiarkan kesepian


Akan tetapi wahai Qadir Muqtadir





Wahai Jabbar Mutakabbir


Engkau Maha Agung dan aku kerdil


Engkau Maha Dahsyat dan aku picisan


Engkau Maha Kuat dan aku lemah


Engkau Maha Kaya dan aku papa


Engkau Maha Suci dan aku kumuh


Engkau Maha Tinggi dan aku rendah serendah-rendahnya


Akan tetapi wahai Qahir wahai Qahhar


Rasul kekasihMu maĆ­shum dan aku bergelimang hawaĆ­


Nabi utusanmu terpelihara sedangkan aku terjerembab-jerembab


Wahai Mannan wahai Karim


Wahai Fattah wahai Halim


Aku setitik debu namun bersujud kepadaMu


Aku sehelai daun kering namun bertasbih kepadaMu


Aku budak yang kesepian namun yakin pada kasih sayang dan pembelaanMu





Emha Ainun Nadjib Jakarta 11 Pebruari 1999






IKRAR
 
 
Oleh :
Emha Ainun Najib


 
 
 
Di dalam sinar-Mu
Segala soal dan wajah dunia
Tak menyebabkan apa-apa
Aku sendirilah yang menggerakkan laku
Atas nama-Mu
Kuambil siakp, total dan tuntas
maka getaranku
Adalah getaran-Mu
lenyap segala dimensi
baik dan buruk, kuat dan lemah
Keutuhan yang ada
Terpelihara dalam pasrah dan setia
Menangis dalam tertawa
Bersedih dalam gembira
Atau sebaliknya
tak ada kekaguman, kebanggaan, segala belenggu
Mulus dalam nilai satu
Kesadaran yang lebih tinggi
Mengatasi pikiran dan emosi
menetaplah, berbahagialah
Demi para tetangga
tetapi di dalam kamu kosong
Ialah wujud yang tak terucapkan, tak tertuliskan
Kugenggam kamu
Kau genggam aku
Jangan sentuh apapun
Yang menyebabkan noda
Untuk tidak melepaskan, menggenggam lainnya
Berangkat ulang jengkal pertama
 
 
Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
1997

 






KETIKA ENGKAU BERSEMBAHYANG

Oleh :
Emha Ainun Najib





 Ketika engkau bersembahyang
 Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
 Partikel udara dan ruang hampa bergetar
 Bersama-sama mengucapkan allahu akbar
 Bacaan Al-Fatihah dan surah
 Membuat kegelapan terbuka matanya
 Setiap doa dan pernyataan pasrah
 Membentangkan jembatan cahaya
 Tegak tubuh alifmu mengakar ke pusat bumi
 Ruku' lam badanmu memandangi asal-usul diri
 Kemudian mim sujudmu menangis
 Di dalam cinta Allah hati gerimis
 Sujud adalah satu-satunya hakekat hidup
 Karena perjalanan hanya untuk tua dan redup
 Ilmu dan peradaban takkan sampai
 Kepada asal mula setiap jiwa kembali
 Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri
 Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
 Badan di peras jiwa dipompa tak terkira-kira
 Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya
 Sembahyang di atas sajadah cahaya
 Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
 Rumah yang tak ada ruang tak ada waktunya
 Yang tak bisa dikisahkan kepada siapapun
 Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah
 Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
 Hatimu sabar mulia, kaki seteguh batu karang
 Dadamu mencakrawala, seluas 'arasy sembilan puluh sembilan
 
 
1987
Pengirim Subhan Toba
Jumat 7 Januari 2000
 
 



 
 
 KITA MASUKI PASAR RIBA

Oleh :
Emha Ainun Najib

 
 


 Kita pasar r iba
 Medan perang keserakahan
 Seperti  ikan dalam air tenggelam
 Tak bisa ambil jarak
 Tak tahu langit
 Ke kiri dosa ke kanan dusta
 Bernapas air
 Makan minum air
 Darah riba mengalir
 Kita masuki pasar riba
 Menjual diri dan Tuhan
 Untuk membeli hidup yang picisan
 Telanjur jadi uang recehan
 Dari putaran riba politik dan ekonomi
   Sistem yang membunuh sebelum mati
   Siapakah kita ?
   Wajah  tak menentu jenisnya
   Tiap saat berganti nama
   Tegantung kepentingannya apa
   Tergantung rugi atu laba
   Kita pilih kepada siapa tertawa
       1987
 
 
Pengirim Subhan Toba
Jumat 7 Januari 2000
 
 



 
 
 
KUDEKAP KUSAYANG-SAYANG
 
Oleh :
Emha Ainun Naijb

Kepadamu kekasih kupersembahkan segala api keperihan
di dadaku ini demi cintaku kepada semua manusia
Kupersembahkan kepadamu sirnanya seluruh kepentingan
diri dalam hidup demi mempertahankan kemesraan rahasia,
yang teramat menyakitkan ini, denganmu
Terima kasih engkau telah pilihkan bagiku rumah
persemayaman dalam jiwa remuk redam hamba-hambamu
Kudekap mereka, kupanggul, kusayang-sayang, dan ketika
mereka tancapkan pisau ke dadaku, mengucur darah dari
mereka sendiri, sehingga bersegera aku mengusapnya,
kusumpal, kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku
Kemudian kudekap ia, kupanggul, kusayang-sayang,
kupeluk,
kugendong-gendong, sampai kemudian mereka tancapkan
lagi pisau ke punggungku, sehingga mengucur lagi darah
batinnya, sehingga aku bersegera mengusapnya,
kusumpal,
kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku, kudekap,
kusayang-sayang.
 
1994
(Dari Kumpulan sajak Abracadabra Kita Ngumpet,
Yayasan Bentang Budaya Yogyakarta, 1994, halaman 7)
Republika, 24 Januari 1999


  MEMECAH MENGUTUHKAN

Oleh :
Emha Ainun Najib

 
 


 Kerja dan fungsi memecah manusia
 Sujud sembahyang mengutuhkannya
 Ego dan nafsu menumpas kehidupan
 Oleh cinta nyawa dikembalikan
 Lengan tanganmu tanggal sebelah
 Karena siang hari politik yang gerah
 Deru mesin ekonomi membekukan tubuhmu
 Cambuk impian membuat jiwamu jadi hantu
 Suami dan istri tak saling mengabdi
 Tak mengalahkan atau memenangi
 Keduanya adalah sahabat bergandengan tangan
 Bersama-sama mengarungi jejeak Tuhan
 Kalau berpcu mempersaingkan hari esok
 Jangan lupakan cinta di kandungan cakrawala
 Kalau cemas karena diiming-imingi tetangga
 Berkacalah pada sunyi di gua garba rahasia
 
   1987
 
 
Pengirim Subhan Toba
Jumat 6 Januari 2000
 
 



 
SEPENGGAL PUISI CAK NUN
  Oleh :
Emha Ainun Najib




     sayang sayang kita tak tau kemana pergi
     tak sanggup kita dengarkan suara yang sejati
     langkah kita mengabdi pada kepentingan nafsu sendiri
     yang bisa kita pandang hanya kepentingan sendiri
     loyang disangka emas emasnya di buang buang
     kita makin buta yang mana utara yang mana selatan
     yang kecil dibesarkan yang besar di remehkan
     yang penting disepelekan yang sepele diutamakan
     Allah Allah betapa busuk hidup kami
     dan masih akan membusuk lagi
     betapa gelap hari di depan kami
     mohon ayomilah kami yang kecil ini
 
 
 
 



  SERIBU MASJID SATU JUMLAHNYA

Oleh :
Emha Ainun Najib

 
 


 Satu
 Masjid itu dua macamnya
 Satu ruh, lainnya badan
 Satu di atas tanah berdiri
 Lainnya bersemayam di hati
 Tak boleh hilang salah satunyaa
 Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
 Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
 Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu
 Dua
 Masjid selalu dua macamnya
 Satu terbuat dari bata dan logam
 Lainnya tak terperi
 Karena sejati
 Tiga
 Masjid batu bata
 Berdiri di mana-mana
 Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
 Timbul tenggelam antara ada dan tiada
 Mungkin di hati kita
 Di dalam jiwa, di pusat sukma
 Membisikkannama Allah ta'ala
 Kita diajari mengenali-Nya
 Di dalam masjid batu bata
 Kita melangkah, kemudian bersujud
 Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa
 Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna
 Empat
 Sangat mahal biaya masjid badan
 Padahal temboknya berlumut karena hujan
 Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban
  Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan
 Masjid badan gmpang binasa
 Matahari mengelupas warnanya
 Ketika datang badai, beterbangan gentingnya
 Oleh gempa ambruk dindingnya
 Masjid ruh mengabadi
 Pisau tak sanggup menikamnya
 Senapan tak bisa membidiknya
 Politik tak mampu memenjarakannya
 Lima
 Masjid ruh kita baw ke mana-mana
 Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya
 Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota
 Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya
 Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya
 Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala
 Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya
 Sebab majid ruh adalah semesta raya
 Jika kita berumah di masjid ruh
 Tak kuasa para musuh melihat kita
 Jika kita terjun memasuki genggaman-Nya
 Mereka menembak hanya bayangan kita
 Enam
 Masjid itu dua macamnya
 Masjid badan berdiri kaku
 Tak bisa digenggam
 Tak mungkin kita bawa masuk kuburan
 Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita
 Melampaui ujung waktu nun di sana
 Terbang melintasi seribu alam seribu semesta
 Hinggap di keharibaan cinta-Nya
 Tujuh
 Masjid itu dua macamnya
 Orang yang hanya punya masjid pertama
 Segera mati sebelum membusuk dagingnya
 Karena kiblatnya hanya batu berhala
 Tetapi mereka yang sombong dengan masjid kedua
 Berkeliaran sebagai ruh gentayangan
 Tidak memiliki tanah pijakan
 Sehingga kakinya gagal berjalan
 Maka hanya bagi orang yang waspada
 Dua masjid menjadi satu jumlahnya
 Syariat dan hakikat
 Menyatu dalam tarikat ke makrifat
 Delapan
 Bahkan seribu masjid, sjuta masjid
 Niscaya hanya satu belaka jumlahnya
 Sebab tujuh samudera gerakan sejarah
 Bergetar dalam satu ukhuwah islamiyah
 Sesekali kita pertengkarkan soal bid'ah
 Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah
 Itu sekedar pertengkaran suami istri
 Untuk memperoleh kemesraan kembali
 Para pemimpin saling bercuriga
 Kelompok satu mengafirkan lainnya
 Itu namanya belajar mendewasakan khilafah
 Sambil menggali penemuan model imamah
 Sembilan
 Seribu masjid dibangun
 Seribu lainnya didirikan
 Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun
 Tagihan masa depan kita cicilkan
 Seribu orang mendirikan satu masjid badan
 Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan
 Hadir engkau semua menyodorkan kawruh
 Seribu masjid tumbuh dalam sejarah
 Bergetar menyatu sejumlah Allah
 Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan
 Melainkan dengan hikmah kepemimpinan
 Allah itu mustahil kalah
 Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah
 Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah
 Muadzin kita selalu mengumandangkan Hayya 'Alal Falah!
 
 
1987
 
 
Pengirim Subhan Toba
Jumat 7 Januari 2000
 
 



 
TAHAJJUD CINTAKU

Oleh :
Emha Ainun Najib

 
 

 Mahaanggun Tuhan  yang menciptakan hanya kebaikan
 Mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan
 Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya
 Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya takditerima
 Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita
 Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya  tak dipelihara
 Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka
 Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya
 Ke  mana  pun memandang  yang tampak ialah kebenaran
 Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang
 
 Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
 Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan
 Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta
 Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya
         1988
 
 
Pengirim Subhan Toba
Jumat 7 Januari 2000